Saat ini di DPR sedang dibahas RUU Kesetaraan dan Keadilan
Gender (KKG) yang diusulkan pemerintah. RUU ini berusaha menempatkan wanita
pada kedudukan yang setara dengan laki-laki. Sejak awal RUU KKG itu menuai
protes, penentangan dan penolakan dari berbagai elemen termasuk ormas-ormas
muslim. RUU KKG itu dinilai bertentangan dengan Aqidah Islam, berbahaya dan
merusak bagi masyarakat.
Dalam Pasal 1 ayat 2 menyebutkan “Kesetaraan Gender adalah
kondisi dan posisi yang menggambarkan kemitraan yang selaras, serasi, dan
seimbang antara perempuan dan laki-laki dalam akses, partisipasi, kontrol dalam
proses pembangunan, dan penikmatan manfaat yang sama dan adil di semua bidang
kehidupan.”
Pasal ini tentu berbahaya dan bertentangan dengan ajaran
Islam. Aturan – aturan Islam mengenai hukum waris, aturan berpakaian, larangan
perempuan menjadi pemimpin negara/penguasa, tanggung jawab keibuan, relasi
suami istri, aqiqah, kewajiban menafkahi bagi suami, kewajiban mendidik anak-anak
bagi kaum Ibu dan masih banyak yang lain, tentu menjadi bersebarangan dengan
pasal tersebut. Apakah seperti itu makna keadilan di negeri ini. Bukankah keadilan
adalah menempatkan segala sesuatu sesuai kadarnya.
Pasal 3 huruf f menyatakan akan menghapus segala praktik
yang didasarkan atas inferioritas atau superioritas salah satu jenis kelamin
atau berdasarkan peranan stereotype bagi perempuan dan laki-laki. Artinya,
peran khas laki-laki sebagai suami dan pemimpin bagi wanita dan peran khas
perempuan sebagai isteri, ibu dan pengatur rumah tangga adalah pembakuan peran
(tidak fleksibel) sehingga harus dihapus.
Pasal 9 ayat (1) menyatakan kesempatan yang sama dan
perlakuan yang adil dalam pemenuhan hak kesehatan reproduksi, hak pendidikan,
hak ekonomi dan ketenagakerjaan, keterwakilan perempuan, perkawinan dan
hubungan keluarga.
Keadilan pada hak ekonomi meniadakan perlunya izin
suami/keluarga bagi perempuan untuk bekerja. Terpenuhinya hak reproduksi
mencakup ketidakharusan izin suami soal sterilisasi dan aborsi. Perempuan harus
dijamin mendapatkan informasi dan pelayanan kesehatan seksual dan reproduksi,
termasuk kemudahan mendapatkan kontrasepsi untuk mengurangi tingkat aborsi
tidak aman dan kehamilan.
Pasal 4 ayat 2 mengharuskan terpenuhinya kuota 30% dalam hal
keterwakilan perempuan di legislatif, eksekutif, yudikatif, dan berbagai
lembaga pemerintahan non-kementerian, lembaga politik, dan lembaga
non-pemerintah, lembaga masyarakat di tingkat daerah, nasional, regional dan
internasional. Pasal ini seolah – olah memaksakan adanya perempuan dengan
jumlah tertentu di setiap kantor pemerintah. Parahnya, hal ini akan memperkecil
peran perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pendidikan anak – anak di rumah. Lalu,
merelakan anak – anak di rumah diserahkan dan dididik oleh seorang baby sitter
atau pembantu rumah tangga.
Dalam RUU ini juga disebutkan,
Dalam perkawinan, setiap orang berhak:
memasuki jenjang perkawinan dan memilih suami
atau isteri secara bebas;
memiliki relasi yang setara antara suami dan
isteri;
Saat ini tengah marak fenomena lesbi dan gay. Ayat ini
justru mengamini perkawinan – perkawinan sejenis dengan membawa dalih pasal dan
ayat tersebut.
RUU-KKG tidak menyebutkan agama sebagai salah satu asasnya.
Karenanya dapat dikatakan bahwa RUU tersebut adalah produk liberalisme yang
bertentangan dengan agama dan budaya yang dianut oleh masyarakat Indonesia.
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar