Perkembangan Akal Budi Manusia dan Positivisme: Filsafat Auguste Comte

diambil dan disadur dari buku "Filsafat Manusia" karangan Zainal Abidin


Auguste Comte
Introduksi
Auguste Comte mengemukakan teori mengenai perkembangan akal budi manusia yang secara linier bergerak dalam urutan yang tidak terputus. Perkembangan itu bermula dari tahap mistis atau teologis kemudian menuju tahap metafisis dan berakhir pada tahap positif. Pada tahap positif inilah Comte menekankan pada pengakuan dan pembatasan pada ilmu pengetahuan hanya yang didasarkan pada fakta-fakta logis dan empiris, dan fakta-fakta tersebut harus didekati dengan menggunakan metode ilmiah, yakni eksperimen, observasi, dan komparasi. Menurutnya, segala pengetahuan yang tidak didasarkan pada fakta-fakta positif  dan mendekatinya tidak dengan metode ilmu pengetahuan, tidak lain hanyalah fantasi atau spekulasi liar. Jenis pengetahuan yang dikatakannya spekulasi atau fantasi liar inilah yang disebutnya teologi dan metafisika.

Dalam kehidupan dunia kini, teori Comte ini memiliki pengaruh yang sangat besar. Bahkan kini, teori-teorinya seolah telah menjadi kenyataan praktik-praktik pada kehidupan sosial dan politik. Dalam perkembangan kebudayaan dan keberadaan institusi-institusi sosial saat ini pun membenarkan bahwa teori Comte tentang datangnya zaman atau tahap positif.

Tahap-Tahap Perkembangan Akal Budi Manusia

1. Tahap Teologis
Pada tahap pertama, akal budi manusia berada dalam lingkup teologis, yaitu ketika manusia menganggap bahwa seluruh alam, termasuk dirinya sendiri, memiliki kekuatan misterius. Manusia tidak menghayati dirinya sebagai makhluk luhur dan rasional yang posisinya di alam sebagai makhluk yang lebih tinggi dari makhluk-makhluk yang lain. Sebaliknya, manusia menganggap dirinya hanya bagian dari keseluruhan alam yang diliputi oleh rahasia yang tak terpecahkan oleh pikirannya yang sederhana. Tahap ini dapat dijumpai pada manusia purba.

Dalam tahap teologis, ada 3 macam cara berpikir yang berkembang. Yang pertama adalah animisme. Pada cara berpikir ini, manusia menganggap tiap benda atau makhluk merupakan satu sosok individu yang berbeda dengan yang lain. Mereka belum mengenal konsep umum pada makhluk-makhluk. Contohnya, sebuah pohon beringin di depan Keraton Yogyakarta berbeda dengan pohon beringin di depan Keraton Solo. Setiap benda memiliki rohnya masing-masing, misalnya keris, batu cincin, kereta kencana, sawah, atau bahkan sebuah desa.

Cara berpikir yang kedua adalah politeisme. Pemikiran manusia mulai menyatukan benda-benda ke dalam kelompok-kelompok  yang lebih umum. Pengelompokan tersebut didasarkan pada kesamaan-kesamaan tertentu. Bukan lagi tiap benda mempunyai roh masing-masing, tapi tiap kelompok benda mempunyainya. Contohnya, sawah dihuni dan dipelihara oleh Dewi Sri. Pemikirin ini sudah lebih maju dibanding cara berpikir yang pertama.

Dan yang ketiga adalah monoteisme. Pada cara berpikir ini manusia sudah menganggap hanya satu roh yang berkuasa atas seluruh alam semesta yang disebut dengan Tuhan. Monoteisme telah melepaskan anggapan bahwa tiap benda atau tiap kelompok benda memiliki roh-roh tersendiri yang menghuni. Kini seluruh benda dan makhluk dikuasai oleh satu kekuatan saja yaitu Tuhan. Cara berpikir ini memiliki pengaruh yang besar pada perkembangan budaya, sosial, dan pemerintahan. Monoteisme memungkinkan berkembangnya dogma-dogma agama yang kemudian dijadikan pedoman hidup masyarakat.

2. Tahap Metafisis
Pada tahap ini, akal budi manusia mulai merombak cara berpikir yang lama yang dianggapnya tidak mampu lagi memenuhi keinginan manusia dalam menemukan jawaban  yang memuaskan tentang kejadian alam semesta. Manusia kini mulai mencari penerangan yang logis dan berusaha keras mencari hakikat atau esensi dari sesuatu. Untuk itu, dogma agama dan irasionalitas mulai ditinggalkan dan analisis pikir perlu dikembangbiakkan.

Namun, tahap metafisis pada prinsipnya hanya suatu bentuk modifikasi artifisial saja dari tahap teologis. Dapat dikatakan tahap ini hanyalah tahap peralihan. Tahap teologis dan tahap metafisis sama-sama mencari sebab pertama dan tujuan akhir dari kehidupan. Perbedaan keduanya terletak pada cara menerangkan kenyataan . Alam yang semula diasalkan dari dewa-dewa atau Tuhan, kini diterangkan dengan konsep-konsep abstrak, seperti kodrat, kehendak Tuhan, roh absolut, tuntutan hati nurani, keharusan mutlak, kewajiban moral, dan lain sebagainya. Konsep-konsep itu hanya pengandaian a priori tanpa dasar ilmiah. Tahap metafisis tidak memberi informasi baru, melainkan nama baru dari konsep lama.

3. Tahap Positif
"Sebagai anak kita menjadi teolog, sebagai remaja kita menjadi ahli metafisika, dan sebagai orang dewasa kita menjadi ahli hukum alam."

Pada tahap positif, kita dianggap sebagai orang dewasa, bahwa semua gejala dan kejadian alam tidak lagi dijelaskan secara a priori, melainkan berdasarkan observasi, eksperimen, dan komparasi yang ketat dan teliti. Gejala dan kejadian alam harus dibersihkan dari muatan teologis dan metafisis. Akal tidak lagi berorientasi pada pencarian pada sebab pertama dan tujuan akhir kehidupan.

Comte pun menjelaskan fungsi lain dari ilmu pengetahuan positif, yaitu di dalam dirinya sendiri mengandung alat untuk mencapai, baik kemajuan (progress) maupun ketertiban (order). Ia menyatakan bahwa kemajuan yang didasarkan pada ilmu pengetahuan akan membawa manusia menuju masyarakat yang tertib, stabil, aman, dan harmonis. Dengan kata lain, tanpa agama dan metafisika, ilmu pengetahuan akan dengan sendirinya membawa moralitas dan humanisme dalam kehidupan. Selain itu, ilmu pengetahuan juga mampu mencegah kita dari nafsu untuk berperang dan melakukan penindasan terhadap manusia dan alam.

Melihat besar dan luasnya manfaat ilmu pengetahuan, maka teologi dan metafisika dengan sendirinya harus mundur teratur. Tempat-tempat ibadah, sekolah teologi, dan fakultas filsafat harus dialihfungsikan menjadi universitas, pasar, bank, dan pabrik, yang kesemuanya itu merupakan produk-produk unggulan akal budi manusia. Rohaniwan, teolog, dan filsuf harus menyerahkan jabatannya pada para ilmuwan, industriawan, usahawan, pedagang, dan pialang. Pandangan hidup yang awalnya didasarkan pada dogma agama, sekarang beralih digantikan oleh ilmu pengetahuan positif.

Ilmu Pengetahuan Positif

Comte menunjuk pada rasioanlisme Descartes dan pada ilmu pengetahuan alam Galileo Galilei, Isaac Newton, dan Francis Bacon. Dua ilmu pengetahuan alam inilah yang menjadi model ilmu pengetahuan positif. Kalau ditelusuri, bangunan dari ilmu pengetahuan positif memiliki 3 asumsi dasar.

Asumsi pertama, ilmu pengetahuan harus bersifat objektif. Objektivitas berlangsuk pada kedua pihak, yaitu subjek dan objek ilmu pengetahuan. Pada pihak subjek, seorang ilmuwan tidak boleh membiarkan dirinya terpengaruh oleh sentimen pribadi, penilaian etis, kepercayaan agama, kepentingan kelompok, filsafat, atau apapun yang mempengaruhi objektivitas dari objek yang sedang diobservasi. Pada pihak objek, aspek dan dimensi lain yang tidak bisa diukur dalam observasi, misalnya roh atau jiwa, tidak dapat ditoleransi keberadaannya.

Asumsi Kedua, ilmu pengetahuan hanya berurusan dengan hal-hal yang terjadi berulang kali, bukan berurusan dengan hal-hal yang unik dan terjadi satu kali karena hal tersebut tidak akan membantu untuk meramalkan sesuatu yang akan terjadi. Comte menjelaskan hubungan antara penjelasan ilmiah dan prediksi:

"Karena penjelasan ilmiah merupakan sisi depan prediksi, penjelasan ilmiah itu meletakkan dasar bagi pengendalian instrumental atas fenomena dengan cara memberikan jenis informasi yang akan memungkinkan orang memanipulasi variabel-variabel tertentu untuk menciptakan suatu keadaan atau mencegah terciptanya keadaan itu."

Asumsi Ketiga, ilmu pengetahuan menyoroti setiap kejadian alam dari antarhubungannya dengan kejadian alam yang lain. Mereka diandaikan saling berhubungan dan membentuk suatu sistem yang bersifat mekanis. Oleh sebab itu, perhatian ilmuwan tidak diletakkan pada hakikat atau esensi, melainkan pada relasi-relasi luar, khususnya relasi sebab akibat, antara benda-benda atau kejadian-kejadian alam.

Comte mempunyai keyakinan epistemologis dan/atau metodologis yang sangat kuat. Penolakan Comte atas cara berpikir teologis dan metafisis, serta usahanya merumuskan suatu ilmu akhirnya membawa dirinya pada ilmu pasti. Studinya pada ilmu ini mendorongnya pada kesimpulan bahwa ilmu pasti mempunyai tingkat kebenaran yang sangat tinggi, bebas dari penilaian subjektif, dan berlaku universal. Oleh sebab itu, suatu penjelasan tentang fenomena tanpa disertai perhitungan ilmu pasti adalah nonsense belaka. Tanpa ilmu pasti (matematika dan/atau statistika), ilmu pengetahuan akan kembali menjadi metafisika.


3 komentar:

  1. terima kasih atas share pengetahuannya yg begitu bermanfaat smg sukses selalu gan

    BalasHapus
  2. terima kasih atas share pengetahuannya yg begitu bermanfaat smg sukses selalu gan

    BalasHapus